Setelah bertemu
dengan Bang Soleh yang sudah sukses memiliki jasa service sepatu
premium di salah satu mall, mang Udin menjadi lebih semangat dalam
bekerja. Dia jelas terinspirasi oleh bang Soleh.
Dalam
hatinya dia berharap dan yakin harapannya akan tercapai. Dia selalu
berdo’a setiap hari, bahkan bangun malam untuk shalat tahujud dan
memanjatkan do’a agar kehidupannya lebih baik.
Selain
itu, dia meminta istrinya untuk ikut mendo’akannya. Tidak lupa juga,
dengan sengaja silaturahim ke rumah orang tua dan mertuanya untuk
meminta dorongan do’a. Dan dia setiap hari terus berusaha, menjajakan
jasanya dengan pikulannya berkeliling . Rasa optimis ini ternyata
menjadikan penghasilan jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Penghasilannya
sudah lumayan dan tidak pernah lagi api di dapurnya padam. Tidak pernah
lagi anaknya jalan kaki karena tidak punya ongkos ke sekolah. Bahkan
mang Udin dan istrinya sudah mulai menabung untuk masa depan kedua
anaknya.
Perbaikan
ekonomi mang Udin tidak menjadikannya malas. Dia malah makin
bersemangat dan terus bersyukur serta masih tetap berharap bahwa
usahanya akan lebih baik.
“Yah,
saya bersyukur usaha ayah sudah lebih baik. Hanya saja saya
bertanya-tanya, kapan kita akan seperti bang Soleh yah?” kata istrinya
sambil membereskan bekas makan malam mereka.
“Tenang
saja bu, insya Allah suatu saat akan datang saatnya. Seperti kondisi
kita saat ini, bukankah ini harapan kita dimasa lalu? Sekarang sudah
menjadi kenyataan.” jawab mang Udin, sambil membantu istrinya mengangkat
tumpukan piring kotor ke dapur.
“Iya,
ibu yakin. Ngomong-ngomong, apa yang dilakukan ayah supaya lebih baik
seperti bang Soleh?” kata istrinya sambil menatap suaminya.
“Iya
juga, selama ini ayah berdo’a dan tetap keliling. Tapi, bagaimana yah
caranya supaya bisa ningkatin usaha ayah?” kata mang Udin sambil mikir.
“Ya
udah, tidak usah dipikirkan. Ibu sudah sangat bersyukur. Bisa makan
setiap hari, bisa membekali anak-anak ke sekolah, bisa menabung, dan
membeli pakaian. Ini sudah lebih dari cukup. Syukuri saja yang ada,
tidak usah terlalu muluk-muluk.” kata istrinya sambil melangkah ke dapur
mau mencuci piring.
Mang Udin memikirkan apa yang dikatakan istrinya. Dia bingung, bagaimana caranya untuk meningkatkan usahanya, meski dia optimis.
“Apa yah yang harus saya lakukan?” pikir dia.
“Apakah
sudah cukup mensyukuri yang ada dan tidak usaha muluk-muluk ingin lebih
baik lagi?” pikirannya makin dalam, memikirkan apa yang dikatakan
istrinya.
Namun dia teringat apa yang dikatakan bang Soleh, bahwa dia pada awalnya juga bingung. Kemudian berubah menjadi bisa.
“Oh
iya, mungkin sekarang masih bingung, tapi nanti saya akan menemukan
jawabannya. Saya tidak akan menyerah untuk hidup yang lebih baik.” itu
yang dikatakannya dalam pikirannya, tanpa terasa dia sambil mengepalkan
tangannya saking semangat.
Ternyata istrinya melihat, sambil tersenyum bertanya:
“Ngapain yah, koq kayak mau ninju gitu?”
“Ayah tidak akan menyerah!” kata mang Udin sambil menoleh istrinya.
“Lho,
setahu ibu, ayah tidak pernah menyerah dari dulu. Itu yang membuat ibu
dan anak-anak bangga ke ayah.” jawab istrinya sambil tersenyum.
“Maksud ayah, saya tidak akan menyerah untuk meraih apa yang ayah inginkan.” jawab mang Udin semangat.
“Oooo.” kata istrinya. “Tapi bagaimana caranya yah?” dilanjutkan dengan pertanyaan.
“Ayah belum tau sekarang, tapi akan mencari tau.” jawab mang Udin tetap semangat.
“Waw… semangat ni yee… ” kata istrinya sambil tertawa.
Keesokan
harinya, seperti biasa mang Udin keliling untuk menjajakan jasanya
memperbaiki sepatu. Sepulang keliling, dia melihat sebuah sepeda motor
di depan rumahnya. Dia bertanya-tanya, itu sepeda motor siapa.
“Assalamu’alaikum…” katanya sambil membuka pintu.
“Wa’alaikum
salam”, jawab istrinya sambil menghampiri mang Udin. Kemudian istri
mang Udin mengambil gelas dan mengisinya dengan air teh hangat.
“Ini minumnya yah.” kata istri Mang udin sambil menyodorkan gelas.
“Terima kasih bu. Itu motor siapa?” tanya mang Udin sambil melirik ke luar.
“Oh iya, itu motor bang Soleh.” jawab istrinya.
“Mana bang Soleh-nya?” tanya mang Udin semangat.
“Tadi
kan hanya ibu di rumah, jadi bang Soleh nunggu di Masjid sebelah
katanya.” jelas istri mang Udin yang memang tidak pernah menerima tamu
bukan mahram saat suaminya tidak ada di rumah.
“Oh, kalau gitu ayah mau susul ke Masjid sekalian shalat Maghrib.” jelas mang Udin yang langsung menuju Masjid di dekatnya.
“Assalamu’alaikum bang Soleh.” kata mang Udin begitu melihat bang Soleh yang sedang duduk di teras masjid.
Tentu
saja bang Soleh menjawab salam dan menyambutnya. Mereka pun
berbicang-bincang saling menanyakan kondisi dan keluarga. Mereka
terlihat begitu senang dan cerita.
Setelah shalat maghrib, mereka pun langsung menuju rumah. Sesampainya di rumah, istrinya sudah menyiapkan makan malam.
“Ayo bang, makan dulu.” kata istri mang Udin.
“Nggak
usah, tidak akan lama kok. Saya hanya ingin mengundang mang Udin ke
bengkel sepatu saya di Mall. Kebetulan teman saya mau datang dan ingin
ngobrol dengan mang Udin.” kata bang Soleh.
“Teman yang memodali abang maksudnya?” tanya mang Udin penasaran sambil penuh harap.
“Iya.
Tadi pagi ngobrol, katanya ingin buka bengkel sepatu baru di mall lain.
Saya menyarankan mang Udin yang mengelolanya.” jelas bang Soleh.
“Yang bener?” tanya mang Udin dengan mata berbinar.
“Iya… ” jawab bang Soleh sambil tersenyum. “Besok ditunggu sekitar jam 10 pagi.”
“Boleh-boleh, insya Allah saya datang.” kata mang Udin dengan semangat.
Setelah
mereka makan malam, bang Soleh pun pulang. Mang Udin langsung
mengucapkan syukur karena mendapatkan peluang yang dia impikan selama
ini.
“Betul kan bu? Kita jangan menyerah.” kata mang Udin sambil menatap istrinya.
“Coba kalau kita menyerah, jangan-jangan peluang ini tidak datang.” lanjut mang Udin memotong istrinya yang akan bicara.
“Iya yah, alhamdulillah.” jawab istrinya sambil tersenyum tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Keesokannya, mang Udin sengaja tidak keliling, dia langsung ke Mall untuk menemui teman bang Soleh.
Sekitar
1 jam mang Udin, bang Soleh, dan teman bang Soleh berbicara. Kemudian
mang Udin pun pulang dengan wajah yang kurang ceria.
Sesampainya di rumah, dia disambut istrinya.
“Bagaimana yah?” kata istrinya dengan semangat.
“Tidak jadi bu.” jawab mang Udin.
“Kenapa yah?” tanya istrinya.
“Katanya ayah belum siap untuk mengelola bengkel sepatu profesional. Dia minta ayah belajar dulu mengelola usaha.” jelas mang Udin.
“Ya udah lah, tidak apa-apa. Kita lanjutkan saja yang sudah berjalan dengan baik.” jawab istrinya dengan raut kecewa, namun berusaha menghibur diri dan suaminya.
“Saya tidak akan menyerah bu. Ayah memang kecewa, tetapi pertemuan tadi memberikan hikmah yang luar biasa bagi ayah. Ternyata selama ini, ayah tidak pernah menyiapkan diri, tidak pernah belajar agar siap meningkatkan usaha. Jadi, saat peluang itu datang, ayah tidak siap .” jelas mang Udin masih menyimpan nada semangat.
“Kita sudah meminta kepada Allah, namun saat Allah memberikannya, kita sendiri yang tidak siap.” lanjut mang Udin.
“Oh gitu… Iya juga. Tapi yang sudah, sudahlah. Kesempatan tidak datang dua kali.” kata istrinya sambil mengambil air minum untuk mang Udin.
“Memang betul bu, kesempatan tidak datang dua kali, tetapi mungkin puluhan, ratusan, bahkan jutaan. Saya tidak akan menyerah, ayah akan mempersiapkan diri untuk menyambut peluang-peluang lainnya .” jelas mang Udin makin semangat.
Istrinya tersenyum sambil geleng-geleng.
“Kenapa bu? Ngejek ayah yah?” tanya mang Udin menatap istrinya penasaran.
“Bukan begitu. Ibu jadi tambah kagum ke ayah, dan senang saat ayah mengatakan ‘saya tidak akan menyerah’. Bisa katakan sekali lagi yah?” pinta istrinya sambil menatap mang Udin, tidak lupa sambil tersenyum.
Mang Udin pun langsung menyambut permintaan istrinya sambil mengepalkan tangan dan tersenyum:
“Insya Allah saya bisa, saya tidak akan menyerah, sebab ada Allah yang menolong saya.”
“Bagaimana yah?” kata istrinya dengan semangat.
“Tidak jadi bu.” jawab mang Udin.
“Kenapa yah?” tanya istrinya.
“Katanya ayah belum siap untuk mengelola bengkel sepatu profesional. Dia minta ayah belajar dulu mengelola usaha.” jelas mang Udin.
“Ya udah lah, tidak apa-apa. Kita lanjutkan saja yang sudah berjalan dengan baik.” jawab istrinya dengan raut kecewa, namun berusaha menghibur diri dan suaminya.
“Saya tidak akan menyerah bu. Ayah memang kecewa, tetapi pertemuan tadi memberikan hikmah yang luar biasa bagi ayah. Ternyata selama ini, ayah tidak pernah menyiapkan diri, tidak pernah belajar agar siap meningkatkan usaha. Jadi, saat peluang itu datang, ayah tidak siap .” jelas mang Udin masih menyimpan nada semangat.
“Kita sudah meminta kepada Allah, namun saat Allah memberikannya, kita sendiri yang tidak siap.” lanjut mang Udin.
“Oh gitu… Iya juga. Tapi yang sudah, sudahlah. Kesempatan tidak datang dua kali.” kata istrinya sambil mengambil air minum untuk mang Udin.
“Memang betul bu, kesempatan tidak datang dua kali, tetapi mungkin puluhan, ratusan, bahkan jutaan. Saya tidak akan menyerah, ayah akan mempersiapkan diri untuk menyambut peluang-peluang lainnya .” jelas mang Udin makin semangat.
Istrinya tersenyum sambil geleng-geleng.
“Kenapa bu? Ngejek ayah yah?” tanya mang Udin menatap istrinya penasaran.
“Bukan begitu. Ibu jadi tambah kagum ke ayah, dan senang saat ayah mengatakan ‘saya tidak akan menyerah’. Bisa katakan sekali lagi yah?” pinta istrinya sambil menatap mang Udin, tidak lupa sambil tersenyum.
Mang Udin pun langsung menyambut permintaan istrinya sambil mengepalkan tangan dan tersenyum:
“Insya Allah saya bisa, saya tidak akan menyerah, sebab ada Allah yang menolong saya.”
Bersambung Bagian IV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar