Sabtu, 10 November 2012

Kisah Dua Tukang Sol (bag 4): Tapi Tidak Semudah Itu


Setelah gagal membuka jasa sol di sebuah mall mewah, Mang Udin meneruskan profesinya sebagai tukang sol keliling. Setiap hari selalu semangat untuk berkeliling menawarkan jasanya. Senyum dari istri tercinta dan lambaian sayang dari kedua anaknya selalu memberikan energi lebih bagi mang Udin setiap melakukan aktivitasnya setiap hari.
Saat melawati sebuah jalan, ada seorang pemuda yang memanggilnya. Pemuda tersebut memegang sebuah sepatu yang pastinya akan diperbaiki.
"Ada yang bisa dibantu pak?" tanya mang Udin dengan ramah.
"Iya mang, sol sepatu saya copot, bisa diperbaiki? Ini sepatu kesayangan saya." kata si pemuda itu.
"Baik pak, boleh saya lihat?", kata mang Udin sambil menyodorkan tangannya.
Sepatu itu pun diberikan oleh si pemuda kepada mang Udin. Mang Udin kemudian memeriksa sepatu itu.
"Ini bisa saya lem pak. Tapi kalau ingin lebih kuat, bisa saya tambahkan tahitan." kata mang Udin
"Nanti jahitannya kelihatan donk." kata si pemuda.
"Tentu saja, tapi jangan khawatir, jahitan yang terlihat tidak akan mengganggu tampilannya untuk model sepatu ini. Mamang lihat, banyak sepatu model kaya gini dengan jahitan terlihat jelas. Jahitan itu dibuat dari pabriknya." kata mang Udin.
"Baiklah, tapi jahitannya yang rapi yah ... " kata si pemuda agak khawatir.
"Insya Allah, jahitan mamang memang rapi." kata mang Udin sambil langsung memperbaiki sepatu itu.
Setelah selesai, si Pemuda nampak puas. Jahitannya rapi dan sepatu itu justru terlihat lebih bagus.
"Wah bagus sekali mang." kata si pemuda. "Berapa?"
"Seperti biasa saja pak." kata mang Udin.
Setelah sepakat harga, mang Udin menerima bayaran plus tip dari si pemuda tersebut.
"Jahitan mamang bagus sekali, mengapa tidak membuka service sepatu profesional saja? Seperti di pertokoan atau di mall?" tanya si pemuda.
"Tapi, tidak semudah itu pak." kata mang Udin. "Saya sudah mencobanya, tetapi saya gagal. Katanya saya belum siap untuk mengelola service profesional pak."
"Memangnya kenapa mang?" tanya si pemuda menyelidiki.
"Katanya, mamang tidak ngerti manajemen dan keuangan. Maklum saja pak, saya bukan orang sekolahan." kata mang Udin menjelaskan.
"Mamang dulu waktu masih kecil bisa memperbaiki sepatu tidak?" tanya si pemuda.
"Ya tidak pak, mamang bisa memperbaiki sepatu karena terpaksa. Karena tidak ada pekerjaan, mamang belajar ke teman mamang. Terus mamang jadi tukang sol sampai sekarang."
"Tuh kan, mamang asalnya tidak bisa memperbaiki sepatu, sekarang jadi sangat ahli." kata si pemuda.
"Terima kasih pak atas pujiannya." jawab mang Udin sambil tersenyum.
"Mamang belum mengerti maksud saya." kata si pemuda.
"Memang maksud bapak apa?" tanya mang Udin bingung.
"Dulu mamang tidak bisa memperbaiki sepatu, sekarang jadi bisa. Artinya, meski pun mamang sekarang tidak bisa manajemen dan keuangan, nanti mamang akan bisa jika mau belajar." kata si pemuda
"Tapi tidak semudah belajar sol. Manajemen dan keuangan kan susah, sementara mamang tidak sekolah tinggi." jawab mang Udin.
"Betul mang, memang tidak mudah. Untuk maju kita harus melalui berbagai kesulitan, termasuk sulitnya belajar." jelas si pemuda. "Lagi pula, mamang tidak perlu mahir bener dalam manajemen dan keuangan. Pelajari saja yang praktis dan aplikatif untuk pekerjaan mamang. Tidak perlu harus menjadi sarjana manajemen dan keuangan."
"Oh gitu... Dimana saya bisa belajar?" tanya mang Udin.
"Sekarang banyak kursus mang. Mamang bisa ikut kursus manajemen dan keuangan UKM. Tidak sulit koq." jelas si pemuda.
"Mahal tidak pak?" tanya mang Udin.
"Mahal tidaknya relatif mang."
"Penghasilan tukang sol itu tidak besar pak, mana cukup untuk ikut kursus." jelas Mang Udin.
"Sekali lagi, memang tidak mudah. Jika kita ingin maju, kita harus mau berkorban, salah satunya investasi untuk kepala kita. Itu adalah pilihan, apakah mamang akan begini terus atau ingin maju. Jika betah dengan kehidupan seperti ini, silahkan lanjutkan tanpa harus mengorbankan uang dan waktu untuk memperbaiki diri." kata si pemuda.
"Betul sekali pak." kata mang Udin sambil manggut-manggut.
"Saya dapat 3 keuntungan hari ini, yang harus saya syukuri." kata mang Udin.
"Apa itu mang?" tanya si pemuda penasaran.
"Pertama mamang dapat pekerjaan perbaikan sepatu dari bapak. Kedua saya dapat tip dari bapak. Dan, ketiga saya dapat nasihat dari bapak yang luar biasa. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah." kata mang Udin.
"Alhamdulillah. Mamang hebat. Pandai sekali menyukuri setiap nikmat yang mamang dapatkan. Saya jadi belajar dari mamang." kata si pemuda.
"Itu kan sudah kewajiban kita sebagai manusia, berterima kasih kepada Allah yang memberi banyak nikmat." kata mang Udin.
"Saya yakin, Allah akan membukakan pintu rezeki buat mamang lebih lebar lagi, karena mamang pandai bersyukur." tanya si pemuda itu.
"Insya Allah, saya yakin itu. Selama ini saya berdo'a semoga Allah menunjuki saya jalan untuk hidup lebih baik dan saya dipertemukan dengan bapak disini. Penjelasan bapak seolah ada tambahan cahaya yang menerangi jalan saya. Terima kasih pak." kata mang Udin dengan wajah serius.
"Luar bisa. Saya sering berbicara dan memberikan saran ke banyak orang. Kebanyakan mereka malah mengeluh dan beralasan. Tapi tidak dengan mamang. Saya lihat ada potensi sukses pada di mamang." kata pemuda itu.
"Benarkah?" kata mang Udin dengan antusias.
"Ya tentu saja. Mamang memiliki pikiran positif. Mindset mamang sudah bagus, mindset seorang yang sukses. Lanjutkan, tidak lama lagi hidup mamang akan lebih baik lagi. Saya optimis." kata si pemuda sambil pamit dan masuk rumahnya.
Mang Udin, tambah optimis dan memiliki kepercayaan diri semakin besar untuk meraih hidup yang lebih baik lagi. Dia pun yakin, pertolongan Allah akan terus bersamanya selama dia mau menerimanya dan bersyukur atas semua nikmat yang telah Allah berikan kepadanya.
****
Bersambung ...
Cerita ini adalah kelanjutan dari Serial Kisah Dua Tukang Sol. Selain mang Udin, ada tukang sol lainnya yaitu bang Soleh yang kini sudah sukses menjalan service sepatu profesional di sebuah mall ternama di kotanya. Ada kabar dari bang Soleh? Bagaimana cerita si mang Udin selanjutnya? Apakah mang Udin berhasil mewujudkan impiannya membuka service sepatu profesional? Nantikan kisah selanjutnya, tetaplah bersama kami.

Kisah Dua Tukang Sol Sepatu Bag III


Setelah bertemu dengan Bang Soleh yang sudah sukses memiliki jasa service sepatu premium di salah satu mall, mang Udin menjadi lebih semangat dalam bekerja. Dia jelas terinspirasi oleh bang Soleh.

Dalam hatinya dia berharap dan yakin harapannya akan tercapai. Dia selalu berdo’a setiap hari, bahkan bangun malam untuk shalat tahujud dan memanjatkan do’a agar kehidupannya lebih baik.

Selain itu, dia meminta istrinya untuk ikut mendo’akannya. Tidak lupa juga, dengan sengaja silaturahim ke rumah orang tua dan mertuanya untuk meminta dorongan do’a. Dan dia setiap hari terus berusaha, menjajakan jasanya dengan pikulannya berkeliling . Rasa optimis ini ternyata menjadikan penghasilan jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Penghasilannya sudah lumayan dan tidak pernah lagi api di dapurnya padam. Tidak pernah lagi anaknya jalan kaki karena tidak punya ongkos ke sekolah. Bahkan mang Udin dan istrinya sudah mulai menabung untuk masa depan kedua anaknya.

Perbaikan ekonomi mang Udin tidak menjadikannya malas. Dia malah makin bersemangat dan terus bersyukur serta masih tetap berharap bahwa usahanya akan lebih baik.

“Yah, saya bersyukur usaha ayah sudah lebih baik. Hanya saja saya bertanya-tanya, kapan kita akan seperti bang Soleh yah?” kata istrinya sambil membereskan bekas makan malam mereka.

“Tenang saja bu, insya Allah suatu saat akan datang saatnya. Seperti kondisi kita saat ini, bukankah ini harapan kita dimasa lalu? Sekarang sudah menjadi kenyataan.” jawab mang Udin, sambil membantu istrinya mengangkat tumpukan piring kotor ke dapur.

“Iya, ibu yakin. Ngomong-ngomong, apa yang dilakukan ayah supaya lebih baik seperti bang Soleh?” kata istrinya sambil menatap suaminya.

“Iya juga, selama ini ayah berdo’a dan tetap keliling. Tapi, bagaimana yah caranya supaya bisa ningkatin usaha ayah?” kata mang Udin sambil mikir.

“Ya udah, tidak usah dipikirkan. Ibu sudah sangat bersyukur. Bisa makan setiap hari, bisa membekali anak-anak ke sekolah, bisa menabung, dan membeli pakaian. Ini sudah lebih dari cukup. Syukuri saja yang ada, tidak usah terlalu muluk-muluk.” kata istrinya sambil melangkah ke dapur mau mencuci piring.

Mang Udin memikirkan apa yang dikatakan istrinya. Dia bingung, bagaimana caranya untuk meningkatkan usahanya, meski dia optimis.

“Apa yah yang harus saya lakukan?” pikir dia.

“Apakah sudah cukup mensyukuri yang ada dan tidak usaha muluk-muluk ingin lebih baik lagi?” pikirannya makin dalam, memikirkan apa yang dikatakan istrinya.

Namun dia teringat apa yang dikatakan bang Soleh, bahwa dia pada awalnya juga bingung. Kemudian berubah menjadi bisa.

“Oh iya, mungkin sekarang masih bingung, tapi nanti saya akan menemukan jawabannya. Saya tidak akan menyerah untuk hidup yang lebih baik.” itu yang dikatakannya dalam pikirannya, tanpa terasa dia sambil mengepalkan tangannya saking semangat.

Ternyata istrinya melihat, sambil tersenyum bertanya:

“Ngapain yah, koq kayak mau ninju gitu?”

“Ayah tidak akan menyerah!” kata mang Udin sambil menoleh istrinya.

“Lho, setahu ibu, ayah tidak pernah menyerah dari dulu. Itu yang membuat ibu dan anak-anak bangga ke ayah.” jawab istrinya sambil tersenyum.

“Maksud ayah, saya tidak akan menyerah untuk meraih apa yang ayah inginkan.” jawab mang Udin semangat.

“Oooo.” kata istrinya. “Tapi bagaimana caranya yah?” dilanjutkan dengan pertanyaan.

“Ayah belum tau sekarang, tapi akan mencari tau.” jawab mang Udin tetap semangat.

“Waw… semangat ni yee… ” kata istrinya sambil tertawa.


Keesokan harinya, seperti biasa mang Udin keliling untuk menjajakan jasanya memperbaiki sepatu. Sepulang keliling, dia melihat sebuah sepeda motor di depan rumahnya. Dia bertanya-tanya, itu sepeda motor siapa.

“Assalamu’alaikum…” katanya sambil membuka pintu.

“Wa’alaikum salam”, jawab istrinya sambil menghampiri mang Udin. Kemudian istri mang Udin mengambil gelas dan mengisinya dengan air teh hangat.

“Ini minumnya yah.” kata istri Mang udin sambil menyodorkan gelas.

“Terima kasih bu. Itu motor siapa?” tanya mang Udin sambil melirik ke luar.

“Oh iya, itu motor bang Soleh.” jawab istrinya.

“Mana bang Soleh-nya?” tanya mang Udin semangat.

“Tadi kan hanya ibu di rumah, jadi bang Soleh nunggu di Masjid sebelah katanya.” jelas istri mang Udin yang memang tidak pernah menerima tamu bukan mahram saat suaminya tidak ada di rumah.

“Oh, kalau gitu ayah mau susul ke Masjid sekalian shalat Maghrib.” jelas mang Udin yang langsung menuju Masjid di dekatnya.

“Assalamu’alaikum bang Soleh.” kata mang Udin begitu melihat bang Soleh yang sedang duduk di teras masjid.

Tentu saja bang Soleh menjawab salam dan menyambutnya. Mereka pun berbicang-bincang saling menanyakan kondisi dan keluarga. Mereka terlihat begitu senang dan cerita.

Setelah shalat maghrib, mereka pun langsung menuju rumah. Sesampainya di rumah, istrinya sudah menyiapkan makan malam.

“Ayo bang, makan dulu.” kata istri mang Udin.

“Nggak usah, tidak akan lama kok. Saya hanya ingin mengundang mang Udin ke bengkel sepatu saya di Mall. Kebetulan teman saya mau datang dan ingin ngobrol dengan mang Udin.” kata bang Soleh.

“Teman yang memodali abang maksudnya?” tanya mang Udin penasaran sambil penuh harap.

“Iya. Tadi pagi ngobrol, katanya ingin buka bengkel sepatu baru di mall lain. Saya menyarankan mang Udin yang mengelolanya.” jelas bang Soleh.

“Yang bener?” tanya mang Udin dengan mata berbinar.

“Iya… ” jawab bang Soleh sambil tersenyum. “Besok ditunggu sekitar jam 10 pagi.”

“Boleh-boleh, insya Allah saya datang.” kata mang Udin dengan semangat.

Setelah mereka makan malam, bang Soleh pun pulang. Mang Udin langsung mengucapkan syukur karena mendapatkan peluang yang dia impikan selama ini.

“Betul kan bu? Kita jangan menyerah.” kata mang Udin sambil menatap istrinya.

“Coba kalau kita menyerah, jangan-jangan peluang ini tidak datang.” lanjut mang Udin memotong istrinya yang akan bicara.

“Iya yah, alhamdulillah.” jawab istrinya sambil tersenyum tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.


Keesokannya, mang Udin sengaja tidak keliling, dia langsung ke Mall untuk menemui teman bang Soleh.

Sekitar 1 jam mang Udin, bang Soleh, dan teman bang Soleh berbicara. Kemudian mang Udin pun pulang dengan wajah yang kurang ceria.

Sesampainya di rumah, dia disambut istrinya.

“Bagaimana yah?” kata istrinya dengan semangat.

“Tidak jadi bu.” jawab mang Udin.

“Kenapa yah?” tanya istrinya.

“Katanya ayah belum siap untuk mengelola bengkel sepatu profesional. Dia minta ayah belajar dulu mengelola usaha.” jelas mang Udin.

“Ya udah lah, tidak apa-apa. Kita lanjutkan saja yang sudah berjalan dengan baik.” jawab istrinya dengan raut kecewa, namun berusaha menghibur diri dan suaminya.

“Saya tidak akan menyerah bu. Ayah memang kecewa, tetapi pertemuan tadi memberikan hikmah yang luar biasa bagi ayah. Ternyata selama ini, ayah tidak pernah menyiapkan diri, tidak pernah belajar agar siap meningkatkan usaha. Jadi, saat peluang itu datang, ayah tidak siap .” jelas mang Udin masih menyimpan nada semangat.

“Kita sudah meminta kepada Allah, namun saat Allah memberikannya, kita sendiri yang tidak siap.” lanjut mang Udin.

“Oh gitu… Iya juga. Tapi yang sudah, sudahlah. Kesempatan tidak datang dua kali.” kata istrinya sambil mengambil air minum untuk mang Udin.

“Memang betul bu, kesempatan tidak datang dua kali, tetapi mungkin puluhan, ratusan, bahkan jutaan. Saya tidak akan menyerah, ayah akan mempersiapkan diri untuk menyambut peluang-peluang lainnya .” jelas mang Udin makin semangat.

Istrinya tersenyum sambil geleng-geleng.

“Kenapa bu? Ngejek ayah yah?” tanya mang Udin menatap istrinya penasaran.

“Bukan begitu. Ibu jadi tambah kagum ke ayah, dan senang saat ayah mengatakan ‘saya tidak akan menyerah’. Bisa katakan sekali lagi yah?” pinta istrinya sambil menatap mang Udin, tidak lupa sambil tersenyum.

Mang Udin pun langsung menyambut permintaan istrinya sambil mengepalkan tangan dan tersenyum:

“Insya Allah saya bisa, saya tidak akan menyerah, sebab ada Allah yang menolong saya.”

Bersambung Bagian IV

Kisah Dua Tukang Sol Sepatu Bagi II


Setelah pertemuan itu, bang Soleh dan mang Udin tidak lagi bertemu. Entah kenapa, ada kerinduan dari mang Udin untuk bertemu dengan bang Soleh. Mang Udin mencoba ke tempat dimana dia bertemu, masjid dan tempat makan dimana dia ditraktir. Namun Allah menakdirkan mereka tidak bertemu.

Mang Udin mencoba bertanya kepada sesama rekan tukang sol lainnya. Luar biasa, banyak diantara tukang sol yang mengenal bang Soleh, namun mereka juga sama, mengaku sudah lama tidak bertemu dengan bang Soleh. Mang Udin juga sering berdo’a untuk dipertemukan dengan bang Soleh untuk berterima kasih.

“Apakah bang Soleh sakit?” tanya mang Udin dalam hatinya. “Ah, tidak boleh berburuk sangka, mudah-mudahan bang Soleh baik-baik saja, mungkin dia menjajaki tempat yang lain.”

Lalu, bagaimana dengan keadaan mang Udin sendiri? Setelah mendapatkan pencerahan dari bang Soleh, kehidupan mang Udin sudah jauh membaik. Dengan diawali basmallah, dia selalu mengawali langkahnya menjemput rezeki. Diiringi senyum dari sang Istri dan pelukan dari kedua anaknya, mang Udin selalu bersemangat memikul peralatan dan bahan sol yang lumayan berat.

Meski tidak setiap hari mendapatkan penghasilan bagus, namun secara total sudah sangat cukup menjaga dapurnya ngebul setiap hari. Kadang dia hanya melakukan service satu kali dalam sehari, tetapi uang yang didapat melebih 5 kali service karena kemurahan pengguna jasanya. Banyak sekali rezeki yang tidak diduga-duga yang dia alami.

Dia selalu mensyukuri apa yang dia dapat setiap harinya. Bahkan saat pulang tidak membawa uang pun tidak menjadikan dia mengeluh. Hidupnya lebih tenang dan optimis. Jika hari ini tidak dapat, dia yakin besok lusa akan dapat. Dia tidak khawatir lagi, sebab dia yakin Allah sudah menyiapkan rezeki untuk istri dan kedua anaknya.


Suatu hari, sepulang dari keliling menjajakan jasanya, dia disambut dengan tangisan anak bungsunya.

“Kenapa sayang?” tanya mang Udin sambil membelai kepala anaknya dan melirik ke istrinya.

“Itu yah. Cecep ingin jalan-jalan ke Mall seperti teman-temannya.” jawab istrinya sambil tersenyum.

“Kayak orang kaya saja.” Mang Udin tersenyum. “Mau ngapain sich ke Mall?”

“Mau jalan-jalan saja.” kata Cecep (anaknya).

“Di Mall itu banyak yang dagang, nanti Cecep malu, ayah kan tidak punya banyak uang sekarang.” jelas mang Udin.

“Cecep tidak mau beli apa-apa, hanya ingin jalan-jalan saja sama ayah dan mamah, juga teteh.” jelas Cecep.

“Bener?” tanya mang Udin.

“Bener, Cecep janji.” kata si Cecep.

“Kata mamah gimana? Boleh tidak?” tanya mang Udin.

“Kata mamah, terserah ayah.” kata Cecep sambil melihat ibunya dan dijawab oleh ibunya dengan senyuman.

“Ya udah, besok kan hari Minggu, kita jalan-jalan saja ke Mall.” kata mang Udin yang disambut senyum gembira anaknya.

“Teteh… teteh… besok kita jalan-jalan ke Mall.” kata Cecep teriak-teriak sambil menghampiri kakak perempuannya.

“Emang ayah nggak keliling besok?” tanya istrinya sambil mempersiapkan makan.

“Nggak apa-apa, sesekali istirahat untuk penyegaran. Biar anak-anak senang.” jawab mang Udin sambil duduk di tikar, siap-siap untuk makan.

“Iya juga, ayah selalu keliling, tidak pernah libur.” jawab istrinya sambil duduk disamping mang Udin.


Keesokan harinya, mereka pun berangkat ke Mall naik angkot. Cecep terlihat begitu senangnya.

“Cecep… main ke Mall jangan jadi kebiasaan, sekali-kali saja yah.” jelas mang Udin.

“Kenapa yah?” tanya Cecep.

“Ada banyak kegiatan yang lebih bagus dibandingkan jalan-jalan ke Mall.” jelas mang Udin.

“Iya dech…” kata Cecep.

Sesampainya di Mall, mata mang Udin terpaku melihat sebuah tulisan yang berbunyi ;

→ “SERVICE SEPATU BANG SOLEH” ←

“Jangan-jangan…” pikir mang Udin.

Dia segera menghampiri toko yang ada tulisan itu diatasnya. Disana memang tempat service sepatu, ya sepatu-sepatu yang cukup mahal harganya. Dia melihat semua orang yang ada di toko tersebut, tentu saja mencari-cari, apakah ada bang Soleh disana.

“Ada yang bisa dibantu pak?” tanya salah seorang karyawati toko itu.

“Nggak. Saya cuma ingin ketemu bang Soleh.” jawab mang Udin ragu-ragu, apakah benar bang Soleh itu yang ada disini.

“Oh, sebentar ya pak, ini dengan bapak siapa?” jawab karyawati berjilbab itu dengan ramah.

“Saya Udin.” jawab mang Udin.

“Baik pak, sebentar.” jawab karyawati itu dan masuk ke sebuah ruangan.

Mang Udin seperti tidak percaya, orang yang keluar dari ruangan itu benar-benar bang Soleh yang sudah memberikan pencerahan baginya. Mang Udin hanya menatap bang Soleh.

“Alhamdulillah, kita dipertemukan lagi, apa kabar Mang Udin?” tanya bang Soleh sambil membuka tanggannya.

Akhirnya mereka berpelukan, seperti dua saudara yang telah lama tidak bertemu.

“Wah, bang Soleh sudah sukses nich. Pasti besar modalnya buka toko disini. Bagaimana bisa?” tanya mang Udin penuh dengan kekaguman.

“Ini keluarga mang Udin?” tanya bang Soleh sambil melihat istri mang Udin dan kedua anaknya, seolah mengabaikan pertanyaan mang Udin.

“Iya, ini Cecep ingin jalan-jalan.” jawab mang Udin sambil tersenyum.

“Bagus sekali mang Udin, memasukan kebahagiaan untuk istri dan anak adalah perbuatan mulia. Jangan dilupakan itu.” katang bang Soleh.

“Bagaimana kalau kita makan yuk disana?” kata bang Soleh sambil menunjuk sebuah restoran.

“Ah nggak usah…” jawab mang Udin.

“Jangan gitu, saya sudah lama tidak traktir mang Udin, sekarang sekalian dengan keluarganya.” jelas bang Soleh sambil berjalan menuju sebuah restoran diikuti oleh mang Udin dan keluarganya.

“Jadi merepotkan nich…” kata mang Udin.

Setelah mereka duduk, perbincangan pun dilanjutkan.

“Bagaimana bang Soleh bisa buka usaha disini?” tanya mang Udin.

“Semua Allah yang mengatur. Seperti pertemuan kita dulu. Saya juga dipertemukan dengan teman SMP saya yang sudah menjadi pengusaha dan dia menawarkan bantuan modal untuk buka usaha disini.” jelas bang Soleh.

“Wah… kalau rezeki tidak akan lari kemana yah bang?” kata mang Udin kagum.

“Itu adalah jawaban dari do’a kita, terutama do’a dari ibu, istri, dan anak-anak saya. Saat kita berdo’a, Allah mengabulkan do’a kita dengan memberikan berbagai petunjuk. Tinggal bagaimana kita, mau menjemputnya atau tidak?” jelas bang Soleh.

“Saya sudah sangat bersyukur dengan apa yang saya dapatkan saat ini. Kalau saya ingin dapat lebih seperti abang, apa itu tidak salah? Apakah saya tidak bersyukur?” tanya mang Udin.

“Tentu saja tidak, selama kita berterima kasih atas apa yang Allah berikan kepada kita, kemudian memanfaatkan nikmat itu untuk kebaikan, itu adalah syukur kita. Jika kita ingin lebih baik, itu tidak ada salahnya. Allah menyuruh kita untuk tetap berusaha menjadi lebih baik.” jelas bang Soleh.

“Bagaimana saya bisa maju seperti abang?” tanya mang Udin.

“Mintalah kepada Allah, kemudian jemput rezeki itu dengan segera, tidak boleh menunda-nunda.” jelas bang Soleh.

“Apakah saya bisa?” tanya mang Udin.

“Bagaimana mang Udin menemukan saya disini?” tanya bang Soleh.

“Saya sering berdo’a untuk diketemukan dengan abang, saya ingin berterima kasih.” jawab mang Udin.

“Lewat anak mang Udin, Allah menjawab do’a mang Udin untuk bertemu dengan saya.” kata bang Soleh sambil tersenyum.

“Iya juga…” kata mang Udin.

“Awalnya saya juga bingung, bagaimana menjalankan bisnis dengan profesional. Tapi lama kelamaan bisa juga. Tenang saja, mungkin sekarang kita masih bingung apa yang harus dilakukan. Tapi, tetaplah optimis, Allah akan menunjukkan jalan kepada kita. Teruslah berdo’a. Jangan berhenti karena kita tidak bisa, jangan berhenti karena kita tidak tahu caranya. Allah akan membimbing kita, percayalah.” jelas bang Soleh.

“Saya jadi optimis, hidup saya akan lebih baik lagi.” kata mang Udin dengan mata berbinar, penuh dengan optimisme.

“Insya Allah… kita pasti bisa.” kata bang Soleh.

Mereka pun melanjutkan makan siang mereka diselingi berbagai obrolan kecil yang mengundang senyum dan tawa.

Bersambung Bagian II

Kisah Dua Tukang Sol Sepatu Bag I


Mang Udin, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol. Pagi buta sudah melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap, nanti sore hari mang Udin membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk.

Mang Udin terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.

Perut mulai keroncongan, hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.

Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak nich.” pikir mang Udin. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.

“Bagaimana dengan hasil hari ini bang? Sepertinya laris nich?” kata mang Udin memulai percakapan.

“Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.

“Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin jahitan.” kata mang Udin memelas.

“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”

“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga.” kata mang Udin sedikit kesal.

“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah.” kata bang Soleh sambil tetap tersenyum.

“Emang begitu bang?” tanya mang Udin, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.

“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan dzuhur.” kata bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.

Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.

“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”

Akhirnya, mang Udin mengikuti bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang Soleh begitu hapal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut.

Setelah shalat, bang Soleh mengajak mang Udin ke warung nasi untuk makan siang. Tentu saja mang Udin bingung, sebab dia tidak punya uang. Bang Soleh mengerti,

“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”

Akhirnya mang Udin ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah makan, mang Udin berkata,

“Saya tidak enak nich. Nanti uang untuk dapur abang berkurang dipakai traktir saya.”

“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barakah.” kata bang Soleh tetap tersenyum.

“Abang yakin?”

“Insya Allah.” jawab bang soleh meyakinkan.

“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain.” kata mang Udin penuh harap.

“Insya Allah. Allah akan menolong kita.” Kata bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.

Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa.

“Apa kabar mang Udin?”

“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa kok penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat.” kata mang Udin setengah menyalahkan.

Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata, “Masih ada hal yang perlu mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”

“Oh ya, apa itu?” tanya mang Udin penasaran.

“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang Soleh sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.

Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi,

“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran abang tidak cocok untuk saya?”

“Bukan tidak, cocok. Mungkin keyakinan mang Udin belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana mang Udin yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum.

Mang Udin cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh bang Soleh.

“Bagaimana supaya yakin bang?” kata mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.

Rupanya, bang Soleh sudah menebak, kemana arah pembicaraan. “Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, disini?” tanya bang Soleh.

“Tidak.”

“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan 3 hari berturut. Mang Udin dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat berpikir dalam.

Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut . Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”

Mang Udin manggut- manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.

“OK dech, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih abang.” kata mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.

“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi dzuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”

Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimist bahwa hidup akan lebih baik.

Bersambung Bagian II